• Home
  • UMUM
  • SEJARAH
  • SOFTWARE
  • Islam
  • komputer

Jumat, 29 Juni 2012

Sejarah Dasi

Sejarah Dasi


Dasi, menurut Asosiasi Aksesori Leher Amerika, punya sejarah panjang yang melilit perkembangannya.
Sejak zaman batu pun aksesori di leher dan dada sudah ada, khususnya untuk memberi ciri pada kelompok pria dari strata tinggi.

Malah, pada masa Romawi kuno sudah dipakai kain untuk melindungi leher dan tenggorokan, khususnya oleh para jurubicara.
Pada perkembangannya prajurit militer Romawi pun memakainya.
Bukti dipakainya aksesori kain leher tampak pada patung batu di makam kuno, Xian, Tiongkok.

Aksesori leher terkenal lainnya muncul di masa Shakespeare (1564 - 1616), yakni "ruff".
Kerah kaku dari kain putih itu bentuknya serupa piringan besar yang melingkari leher.
Untuk mempertahankan bentuk, ruff sering dikanji.
Lambat laun orang merasa ruff yang bertumpuk-tumpuk hingga mencapai ketebalan beberapa sentimeter mengakibatkan iritasi.

Lahirlah "cravat" pada masa pemerintahan Louis XIV tahun 1660-an.
Namun, Kroasia lebih tepat disebut sebagai tanah asal dasi.
Bahkan konon kata ini berasal dari nama negara Kroasia dalam bahasa setempat Hrvatska.

Ini sesuai penuturan Francoise Chaile dalam buku La Grande Historie de la Cravate (Flamarion, Paris, 1994). "...
Sekitar tahun 1635, sekitar enam ribu prajurit dan ksatria datang ke Paris, yang disewa oleh Louis XIII dan Richelieu.
Pakaian tradisional mereka amat menarik.
Sehelai sapu tangan diikatkan di leher dengan cara khusus.
Sapu tangan itu terbuat dari berbagai kain, dari yang serupa seragam, katun halus, hingga sutera.
Gaya unik ini segera 'menaklukkan Perancis'.
Apalagi cara ini lebih praktis ketimbang kerah kaku.
Sapu tangan itu cuma diikat, dengan ujung-ujungnya dibiarkan lepas."

Maka disebutlah sapu tangan itu cravat, artinya "penduduk dari Kroasia".

Sebagaimana aksesori leher di zaman batu, keindahan cravat dan cara mengikatnya menunjukkan kelas si pemakai.
Konon Beau Brummell (1778 - 1840), yang banyak mempengaruhi perkembangan mode, perlu waktu berjam-jam untuk mengikat cravat-nya.

Banyak buku teknik mengikat cravat diterbitkan.
Salah satunya menampilkan 32 cara, meski kenyataannya ada lebih dari 100 cara yang resmi dikenal saat itu.
Begitupun, ada saja orang yang ingin mengekspresikan kepribadian mereka dengan kreasi sendiri.

Selanjutnya muncul adab mengenakan cravat. Seseorang pantang menyentuh cravat orang lain.
Kalau sampai terjadi, tindakan itu bisa berakibat fatal, yakni duel.

Bahkan takhayul pun berkembang di seputaran cravat.
Konon saat Napoleon Bonaparte mengenakan cravat hitam yang dililitkan dua kali memutari leher, ia selalu menang perang.
Celakanya, saat terjun di Waterloo ia memakai cravat putih.
Akibatnya? Ia pun "jatuh".

Tahun 1860-an cravat dengan ujung yang panjang mulai menyerupai aksesori leher modern alias dasi.
Ketika muncul mode kemeja berkerah, dasi disimpulkan di bawah dagu, ujung panjangnya terjuntai di depan kemeja.
Sementara dasi berbentuk kupu-kupu baru populer tahun 1890-an.

Dengan kemajuan teknologi, kini dasi jadi makin beragam warna, desain, dan teksturnya.
Alhasil, lebih dari 100 juta dasi menyerbu berbagai gerai dasi setiap tahun.

Pada tahun 2002 penyanyi asal Kanada, Avril Lavigne mempopulerkan pemakaian dasi secara casual bagi para remaja wanita.

Sejarah Gelora Bung Karno

Sejarah Stadion Utama Gelora Bung Karno


Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) adalah sebuah stadion serbaguna di Jakarta, Indonesia yang merupakan bagian dari kompleks olahraga Gelanggang Olahraga Bung Karno.
Stadion ini umumnya digunakan sebagai arena pertandingan sepak bola tingkat internasional.
Stadion ini diberi nama Gelora BUng KArno untuk menghormati Soekarno, Presiden pertama Indonesia,
yang juga merupakan tokoh yang mencetuskan gagasan pembangunan kompleks olahraga ini.

Asal Usul Sejarah Stadion Gelora Bung Karno
Gelora Bung KArno dibangun berawal dari Presiden Soekarno dalam menyambut peluang dengan menawarkan Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan pesta olahrga akbar di Asia, Asian Games ke-IV.
Setelah disetujui, beliau langsung memerintahkan para bawahannya untuk segera merancang suatu kompleks pusat olahraga moderen dan terlengkap sekaligus sebagai taman public dan ruang terbuka hijau.
Bagaimana kisahnya hingga Senayan yang dijadikan sebagai lokasi pembangunan?
dan pembangunan ini mengorbankan 4 desa dengan lebih 60.000 penduduk yang harus hengkang dari kampung halamannya.

Dan pada saat itu kompleks gelora Bung Karno sangatlah luas.
Hingga pada akhirnya keluasannya itu harus terbagi untuk pembangunan kantor-kantor pemerintahan dan swasta.

Pada 21 Juli 1962, Stadion Utama berkapasitas 100 ribu penonton sempurna dibangun.
Di awal Februari 1960, tepatnya pada tanggal 8 Februari Presiden pertama Ir Soekarno, (Bung Karno)
menancapkan tiang pancangStadion Utama sebagai pencanangan pembangunan kompleks Asian Games IV, disaksikan wakil perdana menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan.

Pembangunannya didanai dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS yang kepastiannya diperoleh pada 23 Desember 1958.
Ada hal yang istimewa tentang Stadion Utama ini.
Ciri khas bangunan ini adalah ‘atap temu gelang’ berbentuk oval.
Sumbu panjang bangunan (utara-selatan) sepanjang 354 meter,
sumbu pendek (timur-barat) sepanjang 325 meter.

Stadion ini dikelilingi oleh jalan lingkar luar (athletic tracks) sepanjang 920 meter.
Bagian dalam terdapat lapangan sepakbola berukuran 105 x 70 meter, berikut lintasan berbentuk elips, dengan sumbu panjang 176,1 meter dan sumbu pendek 124,2 meter.

Dengan kapasitas sekitar 100.000 orang,
stadion yang mulai dibangun pada pertengahan tahun 1958 dan penyelesaian fase pertama-nya pada kuartal ketiga 1962 ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
Menjelang Piala Asia 2007, dilakukan renovasi pada stadion yang mengurangi kapasitas stadion menjadi 88.083 penonton

Dalam rangka de-Soekarnoisasi, pada masa Orde Baru, nama Stadion ini diubah menjadi Stadion Utama Senayan.
Setelah bergulirnya gelombang reformasi pada 1998,
nama Stadion ini dikembalikan kepada namanya semula melalui Surat Keputusan Presiden No. 7/2001.
Yaitu Stadion Gelora Bung Karno.

Pengelola stadion ini adalah Yayasan Gelora Bung Karno, yang hingga saat ini masih dipercaya sebagai operator kompleks Gelanggang Olahraga Bung Karno.

Pada era Yayasan Gelanggang Olahraga Senayan ini, terjadi banyak penyimpangan sehingga kawasan Geloran Bung Karno yang semula luasnya 279,1 hektar ini telah menyusut hingga tinggal 136,84 hektar ( 49 % ) saja.

Dari jumlah yang 51 % itu, 67,52 hektar atau sekitar 24,2 % dari luas semula digunakan untuk berbagai bangunan pemerintah seperti gedung MPR/DPR, Kantor Departemen Kehutanan, Kantor Departemen Pendidikan Nasional, Gedung TVRI, Graha Pemuda, Kantor Keluragan Gelora, SMU Negeri 24, Puskesmas, dan rumah makan.

Sisanya, yang 26,7 % atau 74,4 hektar disewakan atau dijual untuk berbagai bangunan seperti misalnya kepada Hotel Hilton, kompleks perdagangan Ratu Plaza, Hotel Mulia, Hotel Atlet Century Park (dahulu Wisma Atlet Senayan), Taman Ria Remaja Senayan, Wisma Fairbanks, Plaza Senayan dan berbagai bangunan komersial lainnya.

Meski GBK kemudian “dikepung” berbagai gedung yang bukan untuk olahraga, fungsinya sebagai ruang terbuka hijau tetap dipertahankan.
Melalui kerja sama dengan Pemda DKI Jakarta disusun Rencana Induk Kawasan Gelora Senayan yang menetapkan Koefisien Dasar Bangunan maksimum 20 persen.

Ini berarti 80 persen dari luas kawasan dipertahankan tetap terbuka.
Ruang terbuka itu kemudian menjadi 84 persen setelah peningkatan dan penataan Parkir Timur menjadi Taman Parkir, pembangunan gerbang di Plasa Selatan (menghadap ke Jalan Jenderal Sudirman), dan penggantian pagar lingkungan pada pertengahan 2004.